Sabtu, 30 Oktober 2010

Arti Keperawanan

Cukup lama bagi saya untuk memilih judul tulisan ini, bahkan mung­kin lebih lama waktu yang saya per­lukan untuk memilih judul daripada meng­ung­kapkan apa yang saya pikirkan ke dalam tulisan. Saya belum ingin menim­bulkan per­ang dunia kedelapan dengan menem­patkan judul yang ter­lalu meman­cing, seperti “Keperawanan, Pen­ting Ga Sih?” atau sejenis­nya. Meng­apa saya menulis hal ini, yang pasti tidak ber­kaitan dengan White Day saat tulisan ini ter­jadwal untuk diterbitkan.

Tidak bisa dipung­kiri isu ini ada di mana-mana di sekitar tem­pat ting­gal kita. Mung­kin sudah ada sejak dulu, cuma kini isu semakin tidak malu-malu lagi untuk tam­pil di muka publik – tidak seperti saat-saat dulu.

Salah seorang barablog yang sering melan­cong ke blog ini per­nah, Bli Wira, per­nah menulis “Hamil Sebelum Menikah”, dan tulisan sejenis banyak sekali jika kita men­coba menemukan dengan mesin telusur di inter­net saat ini. Demikian juga dengan kasus-kasus pemer­kosaan yang bahkan ada NGO melan­sir angka kejadian­nya di Indonesia men­capai satu kasus setiap dua harinya – ya tentu kasus-kasus ini adalah yang ter­catat (yang tidak, Anda bisa bayangkan sendiri).

Walau isu-isu seperti itu mung­kin tidak ber­kaitan lang­sung dengan judul yang saya kedepankan, namun satu dua-nya masih memiliki benang merah. Keperawanan adalah isu yang sangat sen­sitif, bahkan saking sen­sitif­nya bersiap-siaplah Anda men­dapatkan satu gam­paran telak jika Anda menanyakan hal itu pada seorang teman.

Selain sen­sitif, isu ini juga kom­pleks oleh karena ada banyak hal yang saling tarik ulur ter­libat di dalam­nya, norma agama dan kesusilaan bagi mereka yang belum resmi ber­pasangan, fak­tor kesehatan, fak­tor dorongan ego, dan seba­gainya. Di negara tetangga per­nah diadakan survei, 15.000 remaja diwawan­carai, hanya 13% dari mereka yang menyatakan akan melakukan ikrar keperawanan (vir­ginity plegde), setahun kemudian 53% –nya ber­kata, “ikrar apa?”

Di sisi lain, seper­tiganya ber­kata bahwa mereka per­nah melakukan hubungan sek­sual, setahun kemudian 10,5% dari anak-anak ini meng­atakan diri mereka masih perawan. *)

Kadang kita bisa melihat atau men­dengar, ada seseorang yang marah habis-habisan pada kekasih­nya karena men­dengar rumor bahwa sang kekasih sudah tidak lagi per­awan. Tentu saja kekasih­nya menyang­kal, tapi ia tak bisa mem­buk­tikan apa-apa. Ini bisa mem­buat kedua pihak dep­resi berat.

Kadang saya ber­tanya, apa yang bisa dibuk­tikan? Ada metode memang untuk menilai ada tidak­nya kekerasan sek­sual, namun tes keperawanan – tunggu dulu! Saya belum per­nah dengar ada dok­ter yang bisa melakukan tes keperawanan, apa Anda per­nah dengar?

Baik pada laki-laki atau pun per­em­puan, its nearly impos­sible. Kalau laki-laki oke-lah, tidak akan sesering wanita yang men­jadi dalam catatan sejarah men­jadi “korban” tes keperawanan. Mari kita lihat secara sederhana.

Sejak zaman dulu, salah satu metode yang paling klasik digunakan adalah melihat­nya himen (selaput dara) yang utuh adalah tanda keperawanan. Dapat­kah itu masih digunakan sekarang?

* Jika himen masih ada (utuh), itu mung­kin tanda – tapi bukan jaminan – keperawanan, karena tidak semua jenis himen akan robek oleh aktivitas sek­sual. Ada himen yang sangat eles­tis, bahkan dalam beberapa kali aktivitas-pun akan masih tetap utuh. Atau per­nah­kah Anda men­dengar hymenorr­haphy – sebuah prosedur operasi untuk meng­em­balikan himen? Demikian juga sebalik­nya, himen bisa robek atau tidak ada lagi oleh hal-hal lain selain aktivitas seksual.
* Jika himen tidak utuh, robek atau seba­gainya, itu mung­kin men­jadi tanda bahwa vagina sudah ter­penetrasi – tapi apakah karena aktivitas sek­sual? Belum tentu, peng­gunaan tam­pon, aktivitas berat dapat merobek himen yang rapuh. Banyak per­em­puan yang memiliki himen sangat tipis, rapuh, mudah ter­egang atau bahkan sudah ter­obek semen­jak lahir. Himen dapat robek, atau semata meng­hilang, pada masa kanak-kanak, bahkan tanpa per­em­puan itu sen­diri menyadarinya. Atau mung­kin himen robek karena prosedur operasi medis seperti pada hymenotomy jika ditemukan kon­disi imper­forate hymen.

Jadi janganlah Anda datang ke dok­ter dan meminta pemerik­saan untuk mem­buk­tikan bahwa pasangan yang akan Anda nikahi masih per­awan secara medis. Karena jelas sekali, selain tidak ada garansi bahwa keperawanan dapat dibuk­tikan, tes ini jus­tru akan ber­dam­pak sangat negatif bagi yang men­jalaninya. Katakanlah jika Anda seorang per­em­puan (di luar fakta apakah Anda per­awan atau tidak) dipaksa untuk men­jalani pemerik­saan seperti ini, apakah tidak akan trauma psikologis?

Tes keperawanan juga melang­gar hak asasi kemanusiaan, menurut Amnesty Inter­natio­nal tes keperawanan merupakan ben­tuk kekerasan ter­hadap per­em­puan. Tentu tidak akan pihak medis yang akan mau melakukan hal yang tidak bisa dibuk­tikan benar tidak­nya, melang­gar hak asasi, apalagi dengan memaksa pasiennya.

Nah, sekarang bagi Anda – yang memiliki pasangan. Setelah meng­etahui tidak ada cara meng­etahui bahwa pasangan Anda seorang per­awan atau bukan – kecuali dengan pengakuan­nya sen­diri. Apa masih ber­pikir untuk mempersoalkannya?

Keperawanan mung­kin seperti per­asaan manusia yang disebut cinta. Kita tak per­nah tahu apakah pasangan kita benar-benar cinta atau tidak, kita hanya bisa men­jaga per­asaan itu dalam seben­tuk keper­cayaan. Kita bisa cukup per­caya bahwa cinta itu ter­bukti ada di antara pasangan, namun keper­cayaan tidak per­nah bisa men­jadi bukti yang nyata, tapi bisa cukup men­jadi lebih kuat dari bukti yang nyata itu sendiri.

Ketika Anda merasa hati anda memilih seorang pasangan, apakah hati Anda mem­bebani dengan draft ser­tifikasi keperawanan yang harus ter­penuhi? Jika iya, apa bedanya Anda dengan orang yang ber­teriak, jika kamu cinta ber­ikanlah keperawananmu padaku!

Kehidupan penuh mis­teri, tidak tahu apa yang mung­kin kejutan yang dihan­tarkan ke depan pintu waktu anda. Jika Anda ber­temu dengan hal-hal yang Anda dam­bakan, Anda patut ber­syukur, namun jika Anda ber­jodoh dengan hal-hal yang bahkan lebih menyakitkan dari mimpi ter­buruk Anda, tetaplah ber­jalan – karena demikianlah kehidupan.

Keperawanan mung­kin tidak bisa diuji atau dibuk­tikan. Namun men­jaga keperawanan hingga tiba di pelaminan bukan ber­arti tidak mung­kin. Karena mung­kin itu bisa men­jadi kejutan ter­in­dah yang bisa Anda han­tarkan ke pintu waktu pasangan hidup anda. Saya bisa menuliskan beberapa tips untuk itu, namun perlu diingat, bahwa tips ini belum tentu sesuai dengan semua orang. Jika Anda merasa tips ini tidak sesuai, janganlah diikuti. **)

* Belajar meng­har­gai diri anda dan tubuh anda. Seba­gaimana Anda tidak ingin ber­bagi barang pribadi anda dengan orang lain, demikian juga dengan tubuh anda.
* Hadiri pesta dan per­jamuan. Adalah hal yang baik untuk ber­sosialisasi jika Anda menyukainya, jangan mem­batasi diri untuk ber­gaul karena ada beberapa hal positif yang mung­kin Anda per­oleh. Namun jika Anda melihat (beberapa) pasangan yang mulai menuju ke kamar tidur, itu adalah wak­tunya Anda untuk kem­bali pulang. Jika Anda ke sana ber­sama seseorang, atau ber­temu seseorang di sana, jelaskan pada mereka bahwa Anda ingin tetap aman hingga per­nikahan. Tidak ada hal lain yang perlu dijelaskan.
* Hor­mati diri anda, dan orang lain akan meng­hor­mati Anda. Jika ada orang yang mener­tawakan atau mengolok-olok Anda, acuhkan – balik badan dan ting­galkan mereka.
* Tetap ber­temu dan ber­kencan. Jangan putus asa, demikian juga jangan putus asa untuk merasa perlu tetap sen­diri. Ciuman selamat malam yang roman­tis, sebuah pelukan, atau sekadar ber­pegangan tangan dengan orang yang men­jadi kekasih anda dan Anda sayangi serta bahagia ber­samanya adalah hal yang cukup pantas.
* Orang bisa ber­terus terang dan tam­pak jujur (blak-blakan) ten­tang kehidupan sek­sual yang per­nah mereka alami. Namun untuk disadari bahwa tidak semua orang yang seperti ini dapat diper­caya begitu saja.
* Ketika Anda memutuskan untuk tetap per­awan hingga menikah, bukan ber­arti di luar sana tidak ada lawan jenis yang juga memiliki komitmen sama yang ter­nyata sangat cocok dengan Anda.
* Jangan ber­ada hanya ber­dua saja dengan lawan jenis di tempat-tempat di mana sangat mudah melakukan hubungan seks secara privat. Seperti ruang tidur, rumah yang kosong, di dalam mobil di area yang terpencil.
* Belajar­lah dengan baik meren­canakan kencan di area publik terbuka.
* Jangan “melang­kah” lebih jauh dari “area” aktivitas yang belum per­nah Anda coba saat berkencan.
* Meng­etahui bahwa Anda masih per­awan mem­bantu Anda men­cegah banyak efek stres daripada sebaliknya.
* Bawalah sesuatu yang bisa meng­ingatkan seketika bahwa meng­apa Anda memutuskan untuk tetap per­awan hingga per­nikahan tiba. Semisal sebuah cin­cin per­jan­jian, atau foto kakek Anda yang galak di dalam sebuah liontin.

Choosing to remain a vir­gin, until mar­riage, is a per­sonal decision for either sex. Once you have come to a well thought out decision, do not waver from it nor allow anyone to talk you out of it.
“”

Karena saking kompleks-nya, banyak pan­dangan yang tidak bisa saya wakilkan di sini. Namun menurut saya pribadi, adalah pen­ting bagi orang untuk tetap men­jadi per­awan hingga tibanya waktu per­nikahan dengan seseorang yang “The one and only”, namun tidak sebalik­nya mem­buru dan mem­per­tanyakan status keperawanan orang lain.

Lalu bagaimana pen­dapat Anda?

* Dikutip dari: Teen Vir­ginity Pledges: Can They Work?

** Dikutip dari: How to Stay A Virgin?

Copyright secured by Digip­rove © 2010 Cahya Legawa
Diambil dari: Keperawanan Dalam Perspektif Kekinian oleh Cahya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar